Kematian Richard dan awal dari legenda Si Hati Singa
Setelah pembebasan bersyaratnya, Richard kembali ke Inggris dan dimahkotai untuk kedua kalinya pada 17 April 1992, karena khawatir kemerdekaan kerajaannya telah dikompromikan. Sebulan kemudian dia pergi ke Normandia. Lima tahun terakhirnya dihabiskan dalam perang melawan Philip II, diselingi dengan gencatan senjata sesekali.
Namun siapa sangka, keseleboran Richard-lah yang membawanya kepada kematian muda di usia 42 tahun. Saat itu warga Limoges menolak untuk menyerahkan setumpuk emas yang digali oleh seorang petani. Richard mengepung kastil Châlus, dan sialnya dia terkena panah beracun dari petani setempat.
Richard wafat pada tahun 1199. Badannya dimakamkan di gereja Fontevrault, tempat Henry II dan Ratu Eleanor juga dimakamkan, sedangkan hatinya dimakamkan di katedral Rouen.
Pemakaman terpisah ini menjadi penghormatan kepada Richard yang tetap bertempur sampai akhir hayatnya, menegaskan titel "Si Hati Singa" yang telah ia dapatkan pasca pertempuran Ascalon selama Perang Salib Ketiga.
Dia tidak menikah dan memiliki ahli waris hingga akhir hayatnya. Rupanya hal ini dikarenakan sebagian besar waktunya dihabiskan dalam perang. Adik bungsunya, John, menggantikannya sebagai Raja Anglevin.
Pada akhirnya, Richard I "Si Hati Singa" akan selalu diingat sebagai seorang raja pemberani yang memiliki jiwa ksatria, baik dalam medan pertempuran maupun dalam kehidupan sehari-harinya.
Baca Juga: 8 Fakta Menarik Seputar Kekaisaran Romawi
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Kehidupan awal Richard I
Richard I lahir di tempat yang dikenal sebagai "Rumah Raja", sebuah istana yang dibangun oleh kakek buyutnya, Henry I, di luar gerbang utara kota Oxford. Richard lahir sebagai putra ketiga dari Henry II dan Eleanor dari Aquitaine. Walau lahir di Inggris, nyatanya Richard tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih karena lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di Prancis.
Pada usia sembilan tahun, Richard dijodohkan dengan Putri Alais, putri Raja Prancis, Louis VII, yang berusia sama dengannya. Ayah Richard rupanya menipu Louis VII yang lemah agar menyerahkan putrinya yang masih muda, berjanji bahwa Alais akan dinikahi Richard ketika dia sudah cukup umur. Hal ini dilakukan Henry II untuk melanggengkan kekuasaan Inggris di tanah Prancis pada saat itu.
Pada usia 11 tahun, Richard dinobatkan sebagai Duke (adipati) Aquitaine, wilayah milik ibunya, dan dinobatkan sebagai adipati Poitiers pada tahun 1172. Richard memiliki kemampuan politik dan militer yang mumpuni di usia belia. Dia mendapatkan ketenaran karena kehebatannya sebagai ksatria, dan dengan cepat belajar bagaimana mengendalikan masalah aristokrat di wilayah Poitou dan Gascony.
We're doing our best to make sure our content is useful, accurate and safe.If by any chance you spot an inappropriate comment while navigating through our website please use this form to let us know, and we'll take care of it shortly.
Nationalgeographic.co.id – Raja Charles III telah resmi dinobatkan menjadi raja Kerajaan Inggris. Dia dinobatkan karena garis keturunan leluhurnya.
Namun, dulu di awal kerajaan berdiri, apa yang membuat seorang bisa menjadi raja? Apakah otoritasnya atas penduduk di suatu wilayah atau kekuasaannya di suatu wilayah? Apakah mungkin karena seseorang mengenakan mahkota sehingga ia diangkat menjadi raja?
Ini adalah pertanyaan kunci untuk menentukan kapan dan mengapa suatu kerajaan berkembang. Contohnya, dalam kasus Kerajaan Inggris, siapa raja pertama di Inggris, sebelum singgasana kerajaan itu kini diduduki oleh Raja Charles?
Sejarah mencatat, Aethelstan dinobatkan sebagai Raja Anglo-Saxon pada tahun 925 dan konsensus ilmiah menempatkannya sebagai raja pertama Inggris. Jawaban ini terkesan singkat, tetapi cerita sejarahnya cukup panjang dan berbelit untuk diuraikan dan disepakati.
Cerita dimulai dengan Angles
“Untuk benar-benar mulai menemukan raja pertama Inggris, seseorang harus mulai dengan Angles,” tulis Melissa Sartore di laman National Geographic.
Nama England atau Inggris berasal dari kata Inggris Kuno Englaland, yang secara harfiah berarti tanah para Angles. Kedatangan suku-suku Jermanik ini ke tempat yang dulunya merupakan provinsi Romawi Britannia itu terjadi pada abad ke-5. Di samping Jute, Saxon, dan Frisia, Angles mendirikan permukiman di tenggara dan timur Inggris selama abad ke-6.
Seiring waktu, bahasa dan budaya Jermanik menyatu dengan praktik dan tradisi Romawi-Inggris yang ada. Pada tahun 600 Masehi, masing-masing kerajaan terbentuk di seluruh Kepulauan Inggris.
Kerajaan Jermanik ini dibentuk sesuai dengan orang-orang yang tinggal di suatu daerah, berlawanan dengan batas atau perbatasan fisik. Belakangan, kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bergabung menjadi lebih besar, dan apa yang disebut Heptarkhia muncul.
Heptarkhia adalah penyederhanaan yang sangat besar dari pengaturan sosial, politik, dan agama yang kompleks di Inggris. Heptarkhia dibentuk dari tujuh kerajaan: Wessex, Kent, Sussex, Mercia, East Anglia, Northumbria, dan Essex.
Setiap kerajaan besar mencakup kerajaan kecil dengan pemimpinnya sendiri. “Banyak di antaranya bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam lingkup pengaruh yang lebih besar,” tambah Sartore.
Aturan diciptakan dan dipertahankan melalui hubungan timbal balik yang didasarkan pada kesetiaan dan perlindungan. Sistem ekonomi bergantung pada iuran dan layanan yang terkoordinasi.
Peran Mercia dan bretwalda
Kerajaan-kerajaan besar di Inggris saling bersaing untuk menjadi yang teratas. Pada akhirnya menghasilkan perjuangan yang berputar di sekitar Kerajaan Mercia yang mendominasi kerajaan lain selama sebagian besar abad ke-8.
Ini mirip dengan apa yang dijelaskan Bede dalam Ecclesiastical History. Di sana disebutkan ada seorang penguasa yang "berkuasa" atas orang-orang di luar kerajaannya sendiri.
Kronik Anglo-Saxon menggunakan istilah bretwalda untuk mewakili konsep ini. Kronik itu menerapkan istilah tersebut pada raja-raja Anglo-Saxon yang memerintah sejak akhir abad ke-5.
Sejarah mencatat, hegemoni Mercia akhirnya bergeser, terutama pada masa pemerintahan Raja Eghbert dari Wessex (memerintah 802-839 Masehi). Di bawah Raja Eghbert, Wessex mengalahkan bangsa Mercia di pertempuran Ellendon pada tahun 825 Masehi. Setelah itu kerajaan-kerajaan besar mengakui supremasinya.
Kronik Anglo-Saxon mengidentifikasi Raja Eghbert sebagai seorang bretwalda. Identifikasi tersebut berfungsi sebagai inti dari dasar argumentasi sebagian orang bahwa Eghbert adalah raja pertama Inggris.
Apakah Raja Eghbert benar-benar bisa disebut sebagai raja pertama Inggris? Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Wessex di bawah kendali Eghbert memang berhasil melakukan suksesi damai untuk keturunannya. Namun, kekuasaan kerajaannya belum benar-benar luas di Tanah Inggris.
Setelah kematian Eghbert, sang putra Aethelwulf naik takhta. Seorang putra yang naik tahta setelah kematian ayahnya ini menanamkan prinsip suksesi turun-temurun di Wessex.
Setelah kematian Raja Aethelwulf, tiga putranya menjabat sebagai Raja Wessex, yang akhirnya mengarah pada suksesi yang keempat pada tahun 871 Masehi. Ini adalah Alfred, pesaing lain yang juga kerap dianggap sebagai Raja Inggris pertama.
Alfred, penguasa yang tidak terduga
Alfred seharusnya tidak pernah memerintah Wessex. Ketika kakak laki-lakinya Aethelred meninggal saat berkampanye melawan perampok Skandinavia, Alfred menjadi raja.
Sebagai Raja Wessex, Alfred terus mempertahankan kerajaannya dari apa yang disebut Kronik Anglo-Saxon sebagai Great Heathen Army. Terdiri dari orang Denmark, Norwegia, dan Swedia, Great Heathen Army pertama kali tiba di Anglia Timur pada tahun 865 Masehi. Dalam satu dekade, satu-satunya kerajaan yang bertahan adalah Wessex.
Setelah mengalahkan pasukan Skandinavia di Pertempuran Edington pada tahun 878 Masehi, Alfred membuat perjanjian damai dengan pemimpin mereka, Guthrum. Perjanjian itu secara resmi menetapkan batas antara Wessex dan wilayah yang dikuasai Viking.
Namun, kehadiran permanen Skandinavia di utara, serangan Viking yang terus berlanjut, mendorong Alfred untuk mengambil langkah mengamankan kerajaan. Dia mereformasi militer dan mendirikan permukiman pertahanan. Alfred juga mendirikan angkatan laut untuk mempertahankan pantai Wessex dari serangan.
Bersamaan dengan upaya ini, Alfred melakukan aktivitas intelektual yang dianggap membantu menciptakan identitas budaya dan politik Inggris. Semua ini — dan penunjukan Alfred sebagai Raja Anglo-Saxon— menjadi alasan kuat untuk menyebutnya sebagai raja pertama Inggris.
Aethelstan, raja pertama Inggris
Alfred meninggal pada tahun 899 Masehi dan putranya, Edward the Elder, naik takhta. Edward memerintah sampai tahun 924. Setelah kematiannya, putranya Aethelstan dimahkotai sebagai raja pada tahun 925 Masehi.
Sama seperti kakek dan ayahnya, Aethelstan memulai sebagai Raja Anglo-Saxon. Dia berbeda dalam luas wilayah kekuasaannya, terutama setelah Pertempuran Brunaburh pada tahun 937 Masehi.
Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Oleh para sejarawan, ia dianggap sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.
Otoritas Aethelstan tidak pernah terbantahkan. Menurut Kronik Anglo-Saxon, dia juga menjadi raja yang membawa wilayah York dan Northumbria.
Pada tahun 937, raja-raja Skotlandia, Viking Dublin, dan sebagian Wales bersatu melawan Aethelstan. Mereka bertempur di Brunanburh.
Lokasi pasti Brunanburh masih belum jelas. Namun pertempuran yang terjadi di sana dianggap oleh banyak sarjana sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Inggris.
Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Aethelstan di Brunanburh. Hasilnya, kekuasaan Raja Anglo-Saxon semakin meluas hingga ke Skotlandia dan Wales. Itu juga memperkuat kekuasaannya atas seluruh Inggris.
Baca Juga: Kerap Bernasib Buruk, Benarkah Nama Raja Charles Membawa Kutukan?
Baca Juga: Bintang Afrika, Berlian Kontroversial di Tongkat Kerajaan Charles III
Baca Juga: Sejarah Dramatis Mahkota St Edward yang Digunakan Raja Charles III
Aethelstan hanya hidup selama 2 tahun setelah pertarungan tersebut. Namun bagi banyak orang, dia menjadi raja Inggris pertama yang sebenarnya dengan kemenangan itu.
Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Maka tidak heran jika sejarawan menganggap ia sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.
Kerajaan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan Raja Charles yang kini melanjutkan takhta tersebut.
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
Selanjutnya in English: What does selanjutnya mean in English? If you want to learn selanjutnya in English, you will find the translation here, along with other translations from Indonesian to English. You can also listen to audio pronunciation to learn how to pronounce selanjutnya in English and how to read it. We hope this will help you in learning languages.
Richard I dari Inggris–yang sering disebut Richard si Hati Singa atau Richard Cœur de Lion dari Prancis–lahir pada tanggal 8 September 1157 di Oxford, Inggris.
Sikap ksatria dan kehebatannya dalam Perang Salib Ketiga (1189-1192) membuatnya menjadi raja yang populer di masanya dan juga pahlawan rakyat yang kisahnya selalu diceritakan selama beberapa generasi.
Lewat kisahnya dalam buku sejarah maupun aksi-aksinya dalam layar lebar, Richard I "The Lionheart" dikenal sebagai raja Eropa yang bisa menandingi Salahuddin selama Perang Salib dan berani memberontak melawan ayahnya, Henry II, di masa mudanya.
Namanya telah menjadi legenda rakyat Inggris, tetapi seberapa banyak yang kamu ketahui tentang dirinya? Untuk lebih lengkapnya, baca biografi Richard I di bawah ini yuk!
Ditangkap dan dipenjara saat pulang menuju Inggris
Buruknya cuaca, kurangnya pasukan, dan penyakit yang dideritanya membuat Richard melayangkan gencatan senjata kepada Salahuddin dan berlayar pulang ke Inggris. Karena memiliki banyak musuh di benuanya sendiri, Richard pun menyamar sebagai tentara Perang Salib.
Namun sayangnya ia berhasil tertangkap di Wina dan dipenjara di kastil Duke Dürnstein, Danube. Setelahnya dia diserahkan kepada Kaisar Suci Romawi, Henry VI, yang menahannya di berbagai istana kekaisaran.
Richard sendiri terkenal menolak untuk menunjukkan rasa hormat kepadanya dengan mengatakan, "Saya terlahir dari pangkat yang tidak mengenal atasan lain selain Tuhan."
Di bawah ancaman Philip II, Richard akhirnya setuju membayar tebusan sebesar 150.000 mark dan penyerahan kerajaannya kepada Henry VI dengan syarat bahwa ia menerimanya kembali sebagai sebuah wilayah di bawah kekuasaannya. Setelah tebusan tersebut dibayar, Richard pun dibebaskan.
Dinobatkan sebagai Raja Inggris dan ikut serta dalam Perang Salib Ketiga
Tidak seperti Philip II, Richard hanya memiliki satu ambisi, yaitu menjadi komandan dalam Perang Salib. Rupanya kemenangan Saladin atas Yerusalem pada tahun 1187 lah yang melecut semangatnya. Dia tidak pernah memiliki rencana untuk masa depan kerajaan Inggris.
Namun dia belum sah menjadi raja sebelum memimpin kerajaan Angevin (kerajaan Inggris milik wangsa Plantagenet, dengan wilayah dari Britania sampai Prancis). Oleh karena itu, Richard memutuskan hubungan dengan Philip dan membuat pertahanan di sekitar wilayah Angevin. Setelah menjual semua harta ayahnya, ia mendapat armada dan pasukan yang tangguh.
Pada tahun 1190 Richard berangkat ke Yerusalem dengan melakukan perjalanan melalui Sisilia. Richard sempat menetap di Sisilia dan menyelesaikan masalah kerajaan antara sepupunya, Raja Tancred, dan saudarinya, Joan. Richard menuntut agar Joan diberi warisan sesuai dengan perintah mendiang suaminya (Raja Sisilia sebelumnya).
Permintaan ini melahirkan konspirasi antara Philip dan Tancred di kemudian hari untuk mengkhianati Richard. Penduduk Messina (Sisilia) juga menolak tentara asing yang bermukim di wilayahnya. Akhirnya Richard meninggalkan Messina dan kembali berlayar menuju Acre.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Pertemuan dua kesatria: Richard Si Hati Singa dan Salahuddin Al Ayyubi
Perang Salib merupakan salah satu konfrontasi paling epik sepanjang sejarah. Perang ini tak hanya ditujukan untuk memperebutkan kota suci, Yerusalem, namun secara tersirat dianggap sebagai perang suci antara dua agama besar, Islam dan Kristen.
Selama berlangsungnya Perang Salib, banyak kejadian mencengangkan, terutama soal persahabatan terselubung antara Richard I yang memimpin tentara salib dan Salahuddin Al Ayyubi (Saladin) yang memimpin tentara muslim.
Pertemuan pertama mereka terjadi saat pertempuran Arsuf (Arsur) pada tahun 1191. Pertempuran ini terjadi di luar Arsuf, saat pasukan Saladin menyergap pasukan Richard yang sedang pindah dari Acre ke Jaffa.
Awalnya pasukan Saladin lebih diunggulkan untuk menang, namun secara mengejutkan Richard berhasil membalikkan keadaan dan berhasil merebut kembali Yerusalem dan pelabuhan Jaffa yang sudah lama dikuasai pasukan muslim.
Walau bertempur dengan sengit di medan perang, rupanya dua komandan perang ini saling mengagumi satu sama lain. Salahuddin sempat memberi kuda baru saat kuda milik Richard kelelahan, bahkan memberi nasihat kepada Richard saat ia menyamar agar bisa masuk ke wilayahnya.
Sebaliknya, Richard pun menunda pertarungan saat mengetahui pedang milik Salahuddin tumpul, dan membunuh pemberontak yang akan mengkhianati Salahuddin.
Melakukan pemberontakan terhadap ayahnya di usia yang masih muda
Seperti semua putra Henry II, Richard tidak memiliki sikap berbakti kepada ayahnya, namun memiliki pandangan ke depan dan rasa tanggung jawab kepada rakyatnya. Dia bergabung dengan saudaranya, "Raja Muda" Henry dan Geoffrey, dalam pemberontakan besar (1173-1174) melawan ayahnya sebelum akhirnya Richard tunduk dan menerima pengampunan.
Ibunya, Eleanor, dipenjara karena dianggap telah menghasut putra-putranya untuk memberontak kepada Henry II. Richard diberi istana di Poitou dan setengah pendapatan dari Aquitaine, Raja Muda Henry diberi istana di daerah Normandia, dan Geoffrey diberi setengah wilayah Brittany. Richard yang belum sepenuhnya menyerah, kembali memimpin pemberontakan di wilayah Aquitaine.
Sikap keras Richard dalam memimpin rupanya membuat geram rakyat Gascons, yang memberontak pada tahun 1183. Mereka meminta bantuan Raja Muda Henry dan saudaranya, Geoffrey, dari Brittany dalam upaya mengusir Richard dari wilayahnya. Konflik ini sempat terhenti sebentar saat Raja Muda Henry wafat.
Setelah kematian kakaknya, Henry, Richard resmi menjadi putra tertua yang mewarisi Inggris, Normandia dan Anjou. Ayahnya–yang sedari awal tidak berniat memberikan kekuasaan kepada Richard–berharap dia menyerahkan Aquitaine kepada saudara bungsunya, John. Tentu saja, Richard tidak mau menyerahkan wilayah tempat ia dibesarkan, dan bahkan mengajukan banding kepada raja muda Prancis, Philip II.
Pada November 1188, Richard bersekutu dengan Philip dengan "menjanjikan" semua tanah milik Inggris di Prancis. Pada 4 Juli 1189, pasukannya bergabung dengan pasukan Philip dan mengalahkan Henry di Ballans. Mereka mengejar Henry dari Le Mans ke Saumur, memaksa untuk mengakui Richard sebagai pewarisnya, dan membiarkannya mati dua hari setelahnya.
Baca Juga: 6 Fakta Tentang D-Day, Kunci Kemenangan Sekutu di Perang Dunia II